Viral! Fetish Kain Jarik di Surabaya (Tinjauan Teologis-Psikologis)
Kejahatan seolah tidak ada habisnya. Itulah kalimat yang
menurut saya cukup beralasan diutarakan melihat fenomena yang terjadi di
sekeliling kita selama ini. Di tengah kepanikan pandemi Covid-19 yang belum
berakhir ini, kita dibuat
beralih perhatian sejenak dengan munculnya tweet seorang mahasiswa di Surabaya yang mengaku mengalami pelecehan seksual
yang tidak biasa terjadi, yaitu fetishistic disorder (kelainan fetish).
Dia memberikan judul thread-nya di Tweeter tersebut “Predator ‘Fetish
Kain Jarik’ Berkedok Riset Akademik dari Mahasiswa PTN di SBY”. Pada Kamis
malam (30 Juli 2020) kemarin mendadak viral dan ramai dibicarakan oleh
warganet. Dapat Anda baca di https://surabaya.kompas.com/read/2020/08/01/14580041/fetish-kain-jarik-berkedok-riset-di-surabaya-ini-4-fakta-penting-yang-perlu?page=all
Pada tulisannya, dia bercerita jika pelaku memaksa korbannya untuk
membungkus seluruh tubuhnya dengan kain jarik setelah sebelumnya kaki, tangan,
mata, serta telinga ditutup menggunakan lakban. Lalu pelaku melecehkan korban
yang dalam keadaan terbungkus dan terikat tersebut.
Beragam tanggapan muncul di permukaan berkenaan
peristiwa tersebut, baik dari psikolog, psikiater, dokter, dan teolog. Sebagai
seorang teolog, saya juga tergelitik untuk memberikan tanggapan berdasarkan
kajian teologis-psikologis. Kajian psikologis tidak dapat kita elakkan karena
perilaku fetish merupakan salah satu objek kajian ilmu psikologi. Dengan
keyakinan bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah, maka saya mencoba
mengintegrasikan teologi dengan psikologi dalam kajian ini.
Apa Fetish dan Kelainan Fetish Itu?
Fetish adalah salah perilaku penyimpangan seksual yang
ditandai dengan terangsangnya seorang individu oleh bagian tubuh non-seksual
atau benda-benda non-seksual. Contoh bagian tubuh non-seksual yang dimaksud
adalah ketiak, kaki, jempol kaki, pusar, jari tangan, dan lain-lain. Sedangkan
contoh benda-benda non-seksual yang dapat membuat pelaku fetish terangsang
adalah pakaian dalam, sepatu wanita (biasanya sepatu hak tinggi), selimut bayi,
bau kentut, kain, dan lain-lain. Hanya melalui penggunaan objek ini, atau fokus
pada bagian tubuh ini, individu dapat memperoleh kepuasan seksual.
Seseorang yang memiliki fetish belum dimasukkan sebagai
kelainan seksual karena hal ini dimiliki oleh kebanyakan orang. Baca juga: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5117227/4-analisis-dr-boyke-soal-viral-predator-fetish-kain-jarik
Namun dalam
buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (Manual
Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental), fetish termasuk salah satu item di
dalamnya. Menurut beberapa psikolog, fetish hanya dapat didiagnosa sebagai
kelainan fetish (fetishistic disorder) apabila individu mengalami
stes/tekanan atau gangguan dalam hubungan seksual, sosial, pekerjaan, atau
bidang lain sebagai akibat dari fetish. Oleh sebab itu, perlu ada pemeriksaan
oleh para ahli kesehatan untuk memastikan kelaian fetish. Jadi, fetish
menurut beberapa psikolog dapat dikategorikan sebagai kelainan apabila
berdampak buruk bagi individu dan orang lain. Selagi dia tidak merugikan
orang lain, maka perilaku fetish tidak dapat digolongkan sebagai kelainan
fetish.
Seksualitas Menurut Alkitab
Seksualitas merupakan bagian dari kehidupan semua orang
karena seksualitas adalah anugerah Allah.
Pertama, dalam Kejadian 1:26-27, Allah menciptakan manusia dengan 2 gender,
yaitu laki-laki (Ibr: ish) dan perempuan (Ibr: ishah). Jenis
kelamin laki-laki dan perempuan berhubungan dengan seksualitas yang Allah
berikan kepadanya. Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia (laki-laki dan
perempuan) diciptakan sungguh amat baik (Kej. 1:31). Jadi semua unsur-unsur
yang terdapat dalam penciptaan manusia, termasuk seks adalah baik di mata
Allah. Seksualitas bukanlah dampak kejatuhan manusia pertama dalam dosa,
seksualitas adalah pemberian Allah bahkan sebelum manusia mengenal dosa.
Kedua, Kejadian 2:18-25
menerangkan bahwa perempuan (Hawa) diciptakan sebagai “penolong yang sepadan”
bagi laki-laki (Adam) supaya Adam tidak mengalami kesepian. Allah menciptakan
manusia dan menempatkannya dalam sebuah relasi: baik kepada Allah, manusia, dan
alam semesta. Itulah sebabnya manusia memiliki kebutuhan untuk mencintai dan
dicintai. Jadi salah satu tujuan Allah menciptakan seksualitas untuk menyatukan
hati laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan. Selanjutnya dalam ayat
24, relasi laki-laki dan perempuan dikuduskan oleh Allah dalam ikatan
pernikahan di mana seorang laki-laki dan perempuan akan menjadi satu untuk
selamanya (Kej. 2:24). Dapat dikatakan bahwa Allah mengaruniakan seksualitas
untuk “menyatukan” dan “menjadikan satu daging” laki-laki dan perempuan (Bdk.
Mat. 19:5). Jadi tujuan lain seksualitas adalah untuk kesatuan badan (hubungan
seksual) dalam ikatan pernikahan kudus. Laki-laki dan perempuan mengemban
amanat budaya untuk berkembang biak (Kej. 1:28) yaitu untuk menghasilkan
keturunan (prokreasi) melalui seksualitas yang dianugerahkan oleh Allah. Sekali
lagi, seksualitas adalah hal yang baik dari Allah.
Penyimpangan Seksual Menurut Alkitab
Lalu mengapa terjadi banyak sekali penyimpangan
seksual? Satu-satunya jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan ini adalah
kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej. 3). Paulus dengan gamblang mengatakan
bahwa semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah (Rm.
3:23). Kejatuhan manusia dalam dosa telah membuat manusia menyimpang dari
maksud-maksud Allah yang telah dijelaskan di atas tadi.
Sebagai firman Allah, Alkitab menceritakan secara terus
terang tentang beberapa penyimpangan seksual yang terjadi seperti
homoseksualitas (Kej. 19:1-11), onani (Kej. 38:6-11), perzinahan (Ams. 2:16-19;
7:27; 9:13-18), persundalan dan semburit (Ul. 23:17-18), percabulan (1 Kor.
6:9-10; Rm. 1:26-27; 1 Tim. 1:10-11; 1 Tes. 4:3), incest (Im. 18:6, 29;
20:11-12, 14, 17; 1 Kor. 5:1, 5). Saya tidak mencantumkan semua ayat yang
terkait, tetapi ayat-ayat tersebut merupakan contoh yang mewakili.
Satu hal yang perlu kita pahami bahwa Allah tidak hanya
melihat sebuah tindakan berdosa dari dampak yang dihasilkan oleh tindakan itu,
tetapi motivasi tindakan itu. Segala tindakan yang dilakukan dengan motivasi
memuaskan keinginan daging atau nafsu adalah dosa. Paulus memberikan
rincian perbuatan daging yang dibenci oleh Allah seperti percabulan, kecemaran,
hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati,
amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian,
kemabukan, pesta pora dan sebagainya (Gal. 5:19-21). Bahkan dipertegas bahwa “barangsiapa
melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan
Allah.” Jadi, Alkitab selalu menghubungkan penyimpangan seksual sebagai
pelanggaran kekudusan Allah. Penyimpangan seksual dari seorang laki-laki atau
perempuan akan mempengaruhi kekudusannya di hadapan Tuhan.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka perilaku fetish
adalah penyimpangan seksual menurut Alkitab. Mengapa? Saya melihat dari 3 sisi
berikut ini:
Pertama, motivasi. Motivasi fetish tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memuaskan hawa
nafsu seseorang. Orang yang digerakkan oleh hawa nafsu adalah orang yang
berdosa di hadapan Tuhan. Firman Tuhan berkata bahwa segala sesuatu yang
dilakukan tanpa iman adalah dosa (Rm. 14:23). Bahkan memerintahkan untuk
tidak menyerahkan anggota-anggota tubuh kepada dosa untuk dipakai sebagai
senjata kelaliman (Rm. 6:13).
Kedua, cara. Perilaku fetish menggunakan cara
yang tidak wajar untuk memuaskan hasrat seksualnya dengan memaksa orang lain,
mencuri, menyiksa, dan lain-lain. Ilmu psikologi sendiri dapat menggolongkannya
sebagai “kelainan” (disorder) meskipun oleh diagnosa dan persyaratan
tertentu, apalagi iman Kristen. Allah tidak pernah menghendaki seksualitas
digunakan dengan cara yang salah. Seksualitas harus dilandasi oleh kasih.
Ingat, segala penyimpangan seksual tidak pernah disentuh oleh kasih. Tuhan
Yesus mengatakan: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang
perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam
hatinya.”
Dapat disimpulkan, baik fetish maupun kelainan fetish (berdampak
bagi orang lain atau tidak), merupakan dosa di mata Tuhan.
Sebuah Refleksi: Bagaimana Sikap Kita?
Masalah
penyimpangan seksual bukanlah hal yang baru. Pengkhotbah mengatakan: “Apa yang
pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada
sesuatu yang baru di bawah matahari (Pkh. 1:9; bdk. 1:10).” Sejak kejatuhan
manusia dalam dosa, hal ini menjadi pergumulan etis umat manusia, tidak
terkecuali umat Tuhan. Kita telah mengetahui maksud Allah menganugerahkan
seksualitas bagi manusia. Tetapi dosa telah menyeret manusia untuk memberontak
kepada Allah. Orang percaya seharusnya memandang seksualitas sama seperti
pemandangan Allah sebagai Pencipta. Kita harus mengembalikan fungsi
seksualitas tersebut sesuai kehendak Allah.
Fenomena yang terjadi dalam kehidupan kita menyodorkan
perilaku seksual yang tidak sesuai kehendak Allah. Kita harus waspada jangan
sampai perilaku menyimpang seksual mengalir dengan deras dalam masyarakat,
membuat kita menjadi inklusif, kita pun menerimanya sebagai sesuatu yang wajar
atau normal (jangan menjadi new normal).
Apabila Anda tergoda untuk melakukan penyimpangan
seksual, segera “putuskan” dalam nama Tuhan Yesus. Ingat, jangan memberik
kesempatan kepada Iblis untuk menjatuhkan Anda (1 Pet. 5:8). Oleh sebab itu,
tetaplah melekat dengan Pokok Anggur yang benar supaya kita tetap berjalan
dalam kehendaknya dan dijadikan-Nya sebagai alat untuk membawa orang lain ke
jalan-Nya (Mat. 28:19-20). Tuhan akan memampukan kita untuk hidup sesuai
kehendak-Nya melalui Roh Kudus yang diberikan kepada kita semua.
Tuhan Yesus memberkati
Komentar
Posting Komentar