Analisis Pola Penginjilan Misionaris Di Pulau Jawa, Sumatera, Papua, dan Suku Tionghoa

PENDAHULUAN
Perkembangan kekristenan di Indonesia sesungguhnya memperlihatkan perkembangan yang cukup besar. Misalnya, pada tahun 1900 jumlah orang Kristen hanya mencapai sekitar satu juta jiwa. Namun seratus tahun kemudian jumlah itu membengkak menjadi 34 juta jiwa. Akan tetapi data menunjukkan bahwa masih banyak suku-suku yang belum disentuh. Injil pertama kali dibawa oleh gereja Nestoria ke Indonesia. Injil itu hanya terbatas pada daerah pelabuhan saja sebagai pusat perdagangan. Jadi, mayoritas terbesar penduduk Indonesia tidak terjangkau oleh Injil. Kemudian Gereja Katolik membawa Injil bersamaan dengan penjajahan Portugis dan Spanyol pada tahun 1511-1666. Bila dibanding dengan gereja Nestoria, gereja Katolik membawa kekristenan tidak hanya terbatas pada kota-kota pelabuhan saja tetapi suku animis di pedalaman juga, seperti Halmahera, Ternate, dan Ambon. Para misioner Katolik tidak menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu dan bersandar pada konsep gereja yang sakramental. Akibatnya, orang-orang Katolik tidak memiliki iman yang kokoh.
Lalu mulai tahun 1605 VOC membawa Injil di pulau-pulau sebelah timur (NTT). Sebanyak 30.000 orang Katolik dijadikan Protestan dan dibaptis ulang. Yang penting dipahami adalah pendeta-pendeta Belanda digaji oleh VOC sehingga hanya terfokus pada pegawai-pegawai VOC dan pembantu-pembantunya. Dengan demikian, lapisan-lapisan masyarakat lain kurang diperhatikan oleh kegiatan misi Belanda sampai tahun 1800.

A.    Penginjilan di Pulau Jawa
Kekristenan di Pulau Jawa dimulai pada tahun 1815 khususnya di Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Penginjilan di Pulau Jawa muncul dengan tiga pola dan metode yang berbeda dari 3 orang penginjil berbeda pula.

1)      Yohanes Emde (1815-1830)
Yohanes Emde merintis kelompok PA yang diikuti oleh beberapa petobat orang Jawa di Surabaya. Namun metode pelayanan Emde berbau kebarat-baratan. Ia mewajibkan memakai pakaian Eropa dalam kebaktian dan melarang secara keras petobat-petobat baru mengikuti acara yang berbau budaya Jawa seperti kenduri, pewayangan, dan sebagainya.
Analisa:
Emde jelas menunjukkan pola penginjilan yang tidak menerima kontekstualisasi sama sekali. Akibatnya, petobat-petobat baru tidak bisa bertahan menjadi pengikut Kristus karena pola yang digunakan oleh Emde sangat frontal dan terkesan memaksa. Lalu bagi mereka yang belum bertobat, bisa saja mereka langsung menolak Injil karena metode kebarat-baratan yang dilakukan Emde tidak dapat diterima oleh mereka. Karena Injil menjadi asing atau tidak berguna bagi mereka.


2)      Konrad Coolen (1820-1840)
Coolen memiliki metode penginjilan yang berbeda pula.  Ia menguasai wayang, tarian, dan sajak jawa dari ibunya yang adalah berasal dari bangsawan Solo. Ia mengajarkan Injil tetapi menolak baptisan dan ia juga berdoa kepada Dewi Sri dan Gusti Yesus secara bersamaan.
Analisa:
Metode yang dilakukan oleh Coolen adalah berbau sinkretisme. Terhadap kebudayaan Jawa, Coolen terbuka lebar dan positif. Ia tidak melakukan kontekstualisasi secara selektif tetapi kebablasan. Dengan metode ini, Injil menjadi tidak memiliki keunikan dengan budaya dan takhayul yang semula dipercayai oleh masyarakat setempat. Tentu hal ini tidak sesuai dengan firman Tuhan.

3)      J.E. Jellesma (1849)
Jellesma merintis jemaat di Mojowarno dengan metode yang berbeda dari yang dilakukan oleh Emde dan Coolen. Jellesma mengambil jalan tengah dengan mengambil sikap selektif terhadap kebudayaan Jawa/masyarakat setempat. Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Injil diterima sedangkan kebudayaan yang bertentangan dengan Injil ditolak oleh Jellesma.
Analisa:
Menurut saya, metode penginjilan yang dilakukan oleh Jellesma adalah metode yang terbaik dari apa yang dilakukan oleh Emde dan Coolen. Beliau melakukan kontekstualisasi secara benar dan proporsional. Metode ini disebut kontekstualisasi alkitabiah. Dengan metode ini, Injil menjadi sesuatu yang unik dan juga berharga serta tidak asing bagi masyarakat setempat.

B.     Penginjilan di Pulau Sumatera
Pada tahun 1861, lembaga misi dari Jerman menyebarkan Injil di tanah Batak Toba dan misionaris yang berhasil adalah Ludwig Inger Nommensen. Nommensen melakukan metode yang unik dengan melakukan pendekatan terhadap seorang raja Batak sehingga ia mendapat banyak dukungan dari pengikut raja Batak tersebut. Nommensen sukses karena ia memiliki kerohanian yang tinggi, visi yang luas, stamina yang kokoh, dan pelayanan yang holistik. Ia melakukan penginjilan, penerjemahan Alkitab (berbeda dengan gereja Katolik yang tidak melakukan penerjemahan Alkitab), menolok pertanian, mendirikan sekolah, dan menghapuskan sistem jual beli budak. Ia juga mempertahankan unsur-unsur positif kebudayaan Batak.
Analisa:
Metode penginjilan Nommensen juga dapat dibilang jitu. Tidak jauh berbeda dari Jellesma, namun Nommensen melakukan lebih dengan mendirikan sekolah, menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak. Nommensen juga memenangkan raja Batak untuk dapat memenangkan pengikut-pengikut dan masyarakat Batak lain. Ia juga melakukan kontekstualisasi bahasa dan budaya dengan mempelajari bahasa Batak dan menjaga budaya Batak yang tidak bertentangan dengan Injil (Batak adalah masyarakat yang kental dengan kebudayaannya). Dengan cara yang demikian, masyarakat Batak terbuka dengan Injil yang dibawa olehnya.

C.    Penginjilan kepada suku Tionghoa
Penginjilan kepada suku Tionghoa dilakukan oleh John Sung di Surabaya, Batavia, dan Semarang pada tahun 1939. Ia berkhotbah dengan semangat dan kuasa roh Kudus. Ia juga membangun banyak gereja dan sekolah Alkitab.
Analisa:
Metode penginjilan John Sung dapat dibilang sukses. Ia melakukannya dengan berkhotbah dengan kuasa Roh Kudus.  Namun, perkembangan yang dilakukannya tidak menyentuh suku-suku dari agama mayoritas di Indonesia karena ia hanya berfokus kepada suku Tionghoa. Seharusnya, Sung tidak hanya berfokus kepada suku Tionghoa tetapi memuridkan orang Tionghoa yang sudah bertobat untuk memberitakan Injil di suku-suku agama mayoritas.

D.    Penginjilan di Pulau Papua
Misi di Papua tidak terlepas dari pelayanan Don Richardson yang secara heroik dan jitu mengenalkan Kristus kepada suku Sawi di Papua. Ia memenangkan banyak jiwa dari suku Sawi yang terkenal sangat sulit untuk didekati. Don Richardson tidak menyerah begitu saja. Ia mempelajari budaya dan bahasa suku Sawi hingga ia berhasil membawa suku Sawi kepada Kristus.
Analisa:
Metode Don Richardson tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Nommensen. Richardson menuliskan bagaimana ia melakukan kontekstualisasi iman Kristen terhadap kebudayaan suku Sawi tentang “anak perdamaian” (dalam menyelesaikan konflik antar suku, orang Papua akan mengorbankan seorang bayi sebagai perdamaian). Ia mengatakan bahwa Yesus telah menjadi “Anak perdamaian” antara manusia dengan Allah.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa metode penginjilan juga mempengaruhi diterima atau tidaknya Injil yang dibawakan oleh seorang misionaris. Selain ketergantungan Roh Kudus, metode yang tepat juga perlu dilakukan oleh seorang misionaris. Untuk itu, kontekstualisasi iman Kristen yang alkitabiah (tidak kebablasan) adalah metode yang perlu diterapkan oleh seorang penginjil apabila ingin menyampaikan tentang kabar keselamatan. Dengan demikian akan banyak suku-suku bangsa yang mengenal dan menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lirik dan Chord Lagu Berkat Bagi Keluarga (Bilangan 6:22-24)

Mengapa Kerubim Memiliki Empat Wajah (Lembu, Manusia, Elang, dan Singa)?

Studi Kritis Terhadap Gerakan Children of God (Tinjauan Teologis)